Haloooooo readerss yang berbahagia! Aduuh, terutama perempuan Indonesia nih. Selamat Hari Kartini ya gan! Oiya, berhubung hari kartini lagi anget-angetnya dibicarain nih (ceiileeee, emang tempe mendoan abis mentas?), ane punya resensi buku bagus benerrr tentang ibunda kita yang satu ini. Judulnya "Panggil Aku Kartini Saja". Waaahh, dari judulnya aja keliatan, kalo buku ini menceritakan tentang ibu kartini (yaiyaalaaahh, masa tentang doraemon?!) heheeee...
Udah deh, gak usah banyakan do-re-mi-fa-so-la-si-do, nyoookkk kite rame-rame simak resensi nyang berikut ini .. selamat membacee, en jangan lupe beli bukunyee. Ntar aye pinjem yee.. (wkkwkwk, gak modal :P)
Judul Buku: Panggil Aku Kartini Saja
Penulis: Pramoedya Ananata Toer
Penerbit: Lentera Dipantara, Jakarta
Cetakan: I, Juli 2003
Halaman: 301 halaman
Penulis: Pramoedya Ananata Toer
Penerbit: Lentera Dipantara, Jakarta
Cetakan: I, Juli 2003
Halaman: 301 halaman
Pelajaran sejarah yang kita terima selama ini selalu menceritakan bahwa R.A. Kartini -salah satu pahlawan nasional- sebagai sosok perempuan yang cerdas, dipingit, berkorespondensi, dikawinkan paksa, melahirkan, kemudian mati. Kita semua memang kagum, bahwa seorang perempuan di masa itu dapat memiliki kecerdasan dan keberanian yang mungkin tidak akan terpikirkan oleh perempuan kebanyakan. Namun, kekaguman itu dirasakan oleh Pramoedya Ananta Toer –disebutkan dalam pengantar buku ini- tidaklah cukup pantas untuk diberikan kepada Kartini. Pram (Pramudya: penulis-red) mencoba menampilkan sisi lain dari kepahlawan Kartini, dan dituliskan dalam karya yang menghabiskan waktu penulisan selama lima tahun ini (1956-1961).Waahh,, kereeen!
Meskipun penerbit Lentera Dipantara memasukkan buku ini ke dalam genre biografi, sesungguhnya Pram tidaklah menceritakan secara runtut kehidupan Kartini dari lahir sampai meninggalnya. Pram lebih menggali nilai sejarah dan kemanusiaan dari masa-masa yang telah dilewati oleh Kartini, yang tergambar terutama dari surat-suratnya kepada teman-teman koresponsinya. Selain itu, Pram juga menyinggung beberapa karya kesenimanan kartini, seperti beberapa lukisan yang dihasilkan pada masa Kartini dipingit.
Dari ayahnya, Kartini mewarisi darah bangsawan Jawa. Ayah Kartini merupakan keturunan dan bersaudara dengan bupati-bupati di sepanjang pesisir Pulau Jawa. Seperti layaknya patriaki Jawa pada masa itu, ayah Kartini juga memiliki selir dari golongan rakyat jelata yang kebetulan menjadi ibu Kartini. Dan kebiasaan pada masa itu juga bahwa istri kesekian bangsawan yang berasal dari golongan kebanyakan, harus dengan penuh kesadaran meninggalkan rumah kebangsawanan setelah melahirkan anaknya, tanpa mendapat lagi kemungkinan untuk menemui anaknya sendiri, apalagi mantan suaminya. Kenyataan ini nantinya akan membuat Kartini hanya mengenal ayah sebagai orangtuanya sepanjang hidupnya. Hal yang menjadikan Kartini begitu mencintai ayahnya, namun juga akan menimbulkan berbagai kesulitan baik bagi dirinya sendiri maupun bagi ayahnya.
Kartini yang sempat menikmati pendidikan sekolah Belanda, tentu saja merupakan suatu keanehan pada zaman itu. Apalagi, dia berasal dari keluarga bangsawan Jawa yang sangat tidak menganjurkan anak perempuan untuk menikmati dunia luar sebelum masa kawinnya tiba. Namun, jika dilihat lagi silsilah dari R.M. Ario Sosroningrat –ayah Kartini-, hal ini tidaklah terlalu mengherankan. Ayah Kartini berasal dari keluarga yang dikagumi di seluruh Jawa karena keterpelajarannya. Tetapi, saat Kartini menyelesaikan pendidikan sekolah rendahnya (setaraf dengan SD pada saat ini), ayahnya tidak dapat terlalu jauh menuruti keinginan puterinya yang mencintai sekolahnya. R.M. Ario Sosroningrat tidak dapat memungkiri bahwa dia adalah bangsawan tinggi Jawa dan takut melawan tradisi umum bahwa anak perempuan harus dipingit sampai ada calon suami yang akan membawanya.
Pram menuliskan bahwa pemingitan ini sangat membuat Kartini menderita. Kartini sangat mencintai pendidikannya, namun di lain pihak dia juga tidak dapat memungkiri bahwa rasa cinta kepada ayahnya juga sangat mendalam. Ayahnyalah sandaran hidup satu-satunya selama ini, dan dia tidak ingin membuat ayahnya menderita hanya karena Kartini tidak mematuhi perintah ayah yang dicintainya itu. Masa-masa itu juga menjadi begitu sulit bagi Kartini, mengingat seisi keluarga tidak memberikan kehangatan yang diharapkannya, kecuali dua adik tirinya, R.A. Kardinah dan R.A. Rukmini, yang kelak menjadi dua teman seperjuangannya. Ayahnya sendiri tidak kurang-kurang penderitaannya. Sebagai seorang terpelajar, tentu saja dia mengetahui bagaimana penderitaan puteri tercintanya. Namun, kedudukannya sebagai bangsawan tinggi tidak memungkinkannya untuk mengambil tindakan yang dapat membahagiakan Kartini.
Beruntunglah nasib sejarah dan peradaban manusia, bahwa Kartini menemukan muara lain untuk menumpahkan segala isi hatinya, yaitu menulis. Kartini secara aktif menulis kepada sahabat-sahabat penanya, yang terutama adalah Estelle Zeehandelaar, gadis sosialis Belanda. Dalam surat-suratnya itulah, Kartini mengungkapkan segala masalah pribadinya, termasuk buah pikirannya yang mencengangkan dunia. Kartini menuliskan tentang feodalisme, kemanusiaan, dan perasaan yang meminta agar tidak ada perbedaan antarmanusia. Sungguh mengherankan, bahwa di masa itu terdapat seorang yang dapat memiliki pemikiran demikian. Apalagi dia adalah seorang Indonesia, berasal dari golongan bangsawan yang sangat patriak, dan perempuan! Perpaduan antara kecerdasan Kartini dan tarik-menarik antara cintanya kepada pengetahuan dan ayahnya mungkin sekali membentuk kepribadian Kartini yang sangat luar biasa ini. Meskipun akhirnya Kartini mati muda, tidaklah sia-sia jejak yang ditinggalkannya kepada dunia.
Source : http://rullymesgapati.wordpress.com
Heemm,,, buku yang sangat mengagumkan! Pasti mbak Pramoedya bisa nulis sebagus ini gara-gara kecintaannya yang mendalam terhadap sosok Kartini. Mungkin mbak Pram merasa bahwa jalan hidup ibu Kartini mirip sama dirinya, sebagai sastrawan yang menulis untuk kemanusiaan. Ibu Kartini sendiri tidak diragukan lagi memiliki rasa kemanusiaan yang teramat tinggi. Ibu Kartini meminta agar beliau dipanggil tanpa gelar kebangsawanannya, ”panggil aku Kartini saja”, begitu tulis ibu Kartini dalam sebuah suratnya, suatu ”keajaiban” yang dilakukan bangsawan Jawa pada masa itu. hebaatttt! Dalam surat yang lain Kartini menulis ”Sebagai pengarang, aku akan bekerja secara besar-besaran untuk mewujudkan cita-citaku, serta bekerja untuk menaikkan derajat dan peradaban rakyat kami”. Memang ibu Kartini sungguh manusia luar biasa yang pernah dilahirkan di dunia, dan mbak Pram telah dengan sangat baik mendokumentasikan kehidupannya dalam karya yang sungguh layak untuk dibaca ini!
0 komentar:
Posting Komentar